Makalah ilmu kalam
Kehendak mutlak kekuasaan dan keadilan tuhan
Di susun oleh:
Ardi
Ikbal Ulumuddien
Syahriel Rahman
Universitas islam syeikh
yusuf
Fakultas agama islam
2011
Perbedaan pendapat pada manusia adalah suatu
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Jika manusia sejak kecilnya memandang
alam sekitarnya dengan pandangan filosofis – sementara pandangan orang
berbeda-beda, maka kelanjutan ialah bahwa gambaran dan imajinasi manusia juga
berbeda-beda. Demikian juga halnya yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kaum
muslimin, di mana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah
SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi yang semulanya
hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti : Jabariyah, Qadariyah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Masing-masing aliran berbeda pendapat
dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi, di samping disebabkan
karena mamang munculnya perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan
kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di
antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi
memberikan peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang
untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya
dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat tuhan, perbuatan manusia dan
perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan, akal dan wahyu.
Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan
pembahasan tentang keadilan, kehendak mutlak Tuhan, dengan memperbandingkan
pendapat berbagai aliran dalam Islam yang pernah muncul dalam sejarah.
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan dan Kehendak Muthlak Tuhan
Dalam
menjelaskan kemuthlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Asy’ari menulis dalam
Al-Ibanah-nya bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, di atas Tuhan tidak ada
lagi suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa ada lagi
suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh
dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Tuhan
bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Sebagaimana kata
al-Dawwaniy sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abduh, Tuhan adalah Maha Pemilik
(al-Malik) yang bersifat absolute dan berbuat apa saja yang dikehendakiNya di
dalam kerajaanNya dan tidak seorangpun yang dapat mencela perbuatanNya.
Sunggupun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak
baik dan tidak adil. Lebih tegas ia menulis :
“Tuhan bersifat
adil dalam segala perbuatanNya. Tidak ada suatu laranganpun bagi Tuhan. Dia
berbuat apa saja yang dikehendakiNya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintahNya
adalah di atas segala perintah. Dia tidak bertanggungjawab tentang
perbuatan-perbuatanNya kepada siapapun”.
Sejalan dengan
pernyataan di atas, al-Ghazali juga sama berpendapat bahwasanya Tuhan dapat
berbuat apa saja yang dikehendakiNya, dapat memberikan hukuman menurut
kehendakNya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendakiNya dan
dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendakiNya.
Bagi kaum
Asy’ariyah, Tuhan sama sekali tidak terikat kepada apapun, tidak terikat kepada
janji-janji, kepada norma-norma keadilan dan sebagainya. Sementara menurut kaum
Mu’tazilah, kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat muthlak lagi. Sebab,
kekuasaan Tuhan sudah dibatasi oleh kebebasan, yang menurut Mu’tazilah, telah
diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Selanjutnya
kekuasaan muthlak Tuhan itu dibatasi pula oleh keadilanNya. Tuhan tidak bisa lagi
berbuat sekehendakNya, Tuhan telah terikat kepada norma-norma keadilan yang
kalau dilanggar, membuat tuhan bersifat tidak adil. Bahkan zhalim. Sifat
seperti ini tentu saja tidak bisa diberikan kepada Tuhan. Kekuasaan dan
kehendak muthlakNya dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap
manusia yang menurut kaum Mu’tazilah memang demikian. Kekuasaan muthlak itu
dibatasi pula oleh hukum alam (nature of law : sunnatullah) yang tidak
mengalami perobahan. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Ahzab ayat 62 : (Tidak akan
engkau jumpai perubahan pada Sunnatullah).
Adapun kaum:
Muturidiyah, khususnya kelompok Bukhara, mereka menganut pendapat bahwa Tuhan
memiliki kekuasaan muthlak. Menurut al-Bazdawiy, Tuhan memang berbuat apa saja
yang dikehendakiNya dan menentukan segala-galanya menurut kehendakNya. Tidak
ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak larangan-larangan
terhadap Tuhan. Akan tetapi walau bagaimanapun juga
faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semuthlak faham Asy’ari.
Adapun kaum Maturidiy
kelompok Samarkand, tidaklah sekeras kelompok Bukhara dalam mempertahankan
kemuthlakan kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak
batasan yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan muthlak Tuhan.
Batasan-batasan yang diberikan oleh kaum Maturidiy kelompok samarkand ini,
adalah :
1. Kemerdekaan
dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia
2. Keadaan
Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, akan tetapi berdasarkan atas
kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam
dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
3. Keadaan
hukuman-hukuman Tuhan, sebagaimana kata al-Bayadhi, tidak boleh tidak mesti
terjadi. tidak ada suatu zatpun yang lebih berkuasa. Tuhan adalah diatas
segala-galanya. Batasan-batasan itu ditentukan oleh Tuhan sendiri dan dengan
kemauan-Nya sendiri pula. We Allahu Alam.
KEADILAN TUHAN
v Faham
Muta’zilah
Soal keadilan
mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang
diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan
diartikan memberikan orang akan haknya . Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti
bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk
dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat Zalim dalam memberi hukuman, tidak
dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi
upah kepada orang – orang yang patuh pada –Nya dan memberikan hukuman kepada
orang – orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengadukan
arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia. Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar
dengan corak perbuatannya. Menurut al – Nazzam an pemuka – pemuka Mu-tazilah
lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan berdaya untuk bersifat zalim,
berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
v Faham
Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah
mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan –
perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan
perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul
mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu
tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata – mata karena
kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan
lain. Dengan demikian adanya tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan. Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian
keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya
dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti
“Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak
milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat
apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia
adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat
salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan
tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan
tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian,
Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil. Al-Ghazali juga berpendapat demikian.
Ketika adilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar demikian.
Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang lain dan
jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian melanggar
perintah itu. Perbuatan yang demikian mungkin ada pada Tuhan.
Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan tetap
masih bersifat adil. Upah yang di berikan Tuhan hanyalah
merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan, Tuhan tetap
bersifat adil.
v Faham
Maturidiyah
Faham
Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua
golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro mempunyai sikap
yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang
mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak
hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia.
Bagi kaum
Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut
tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan
tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas
perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan bukan dengan paksaan,
akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Bagi kaum
Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum Asy’ariyah, maka
persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyi’ah dan ridha
membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.
Daftar pustaka
Harun,nasution, universitas, indonesia 20101. Kapan lagi.com 2. Lirik Music Luar 3. Free Template 4. Jogja-Blogger 5.Tutorial Blogging | Internet Bisnis Online 6. pVidia Blog 7. Mrs.Danielo 8. www.moccainside.co.cc 9. www.mymot-news.blogspot.com 10. http://detektif007.blogspot.com/ 11. http://indexbisnis.blogspot.com/ 12. http://nazersmada.com/ 13. http://ravikhayyu.blogspot.com/ 14. http://simpeleilmu.blogspot.com
No comments:
Post a Comment