iklan

WELCOME TO MY BLOG

Selamat datang di blog saya..
dengan blog ini saya hanya ingin berbagi ilmu pengetahuan yg saya miliki, semoga bermanfaat untuk anda...
Jangan lupa komennya,,,,hehehe

gw ^_^

gw ^_^

Monday, 19 November 2012

MAKALAH TARIKH TASYRI PENGARUH AHLI HADIS, AHLI RO’YU GOLONGAN HAWARIJ, SYI’AH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM


MAKALAH TARIKH TASYRI

PENGARUH AHLI HADIS, AHLI RO’YU GOLONGAN HAWARIJ, SYI’AH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM


















Di susun oleh :
Ardi
Syahril rahman
Ahmad khairul





UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2012
A. AHLI HADIS DAN RA’YU
          Lahirnya dua madzhab  pemikiran piqh, yakni ahli hadis yang berpusat dimadinah dan ahli ra’yu yang berpusat di khufah[1]. Ahli hadis adalah ulama yang lebih banyak menggunakan hadis dan sangat hati-hati serta selektif dalam menggunakan ra’yu, sedangkan ahli ra’yu adalah ulama yang banyak menggunakan nalar pikiran dibanding hadis. Penggunaan hadis terbatas pada hadis yang mutawattir dan shahih saja. Munculnya dua kelompok ini memicu perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan secara signifikan mendorong lajunya  perkembangan fiqh.  [2]

Alasan mereka yang berpegang  pada hadis

a.       Madinah adalah tempat syari’at ( sunnah ) diturunkan dan merupakan sumber mata air yang jernih” untuk hadis.
b.      Kebiasaan menghafal merupakan tradisi yang dipegang teguh dan menjadi kebanggaan
c.       Persoalan yang muncul tidak terlalu banyak karna kehidupan dimadinah nyaris statis, terutama ketika ibukota dipindahkan ke damaskus. Maka tidak heran apabila dalam madzhab Maliki – sebagai madzhab yang dianut penduduk madinah – mengatakan bahwa tradisi penduduk madinah ( ijma penduduk madinah ) di jadikan hujjah yang wajib di ikuti dan di dahulukan di bandingkan dengan qiyas. [3]

Beberapa tokoh yang mewakili ahli ra’yu ini adalah fuqaha sab’ah yakni Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Abu bakr bin Abdurrahman, Ubaidillah bin abdullah bin Utbah, Kharijah ibn Zaid bin Sabit,  Qasim bin Muhammad, bin abu bakr, Sulaiman bin Yasar, ketujuh ulama ini menduduki thabaqah pertama ulama madinah, keduanya adalah Abdullah bin Abdullah bin Umar, Salim bin Abdullah bin umar, Aban bin ustman bin affan, Abu salamah bin abdurrahman bin auf, Ali bin husain bin ali bin abi thalib, Nafi maulana ibn umar.
           Sedangkan alasan ulama ini mengutamakan ra’yu adalah :
a . karena khufah jauh dari sumber sunnah ( madinah ) dan fatwa sahabat di khufah ( iraq ) tidak sebanyak dimadinah, sehingga para puqaha harus memeras otak dan berusaha memahami pengertian nash dan illat penerapan suatu hukum dari syra, agar pengertian hukum tersebut bisa mencakup apa yang tidak dimuat oleh kata-katanya.
b . problematika hidup yang dihadapi di khufah lebih komplek dan variatif bila dibanding dengan di madinah, akan muncul persoalan baru, dan memerlukan jawaban-jawaban yang tidak terjawab oleh nash ( al-qur’an dan sunnah )
c . dekat dengan pusat pengembangan kebudayaan helenisme  ( filsafat yunani ) di persia yang mengajarkan logika  ( salah satunya adalah logika sylogisme yang di pakai dalam metodelogi  qiyas )
d . banyak tokoh agama yahudi dan nasrani ( dalam perkembangan selanjutnya banyak yang menjadi tokoh dan memasukan ajaran yahudi yang disebut dengan israilliyat ) dan siba’i ( peyembah binatang )yang menguasai filsafat yunani kuno ini masuk islam.
e . khufah merupakan pusat pergerakan politik, baik bagi syiah, khawarij, maupun sunni.
         
          Ketiga kelompok terakhir ini ( syiah, khawarij, dan ahlussunnah ) masing-masing bersaing dan mencari legitimasi transenden melalui kekuatan nash. Menggunakan dalil-dalil dari ayat al-qur’an sangat terbatas pada takwil ayat-ayat muttasyabihah dan sangat tidak mungkin melakukan penambahan ayat, .satu-satunya peluang yang masih memungkinkan adalah dengan memalsukan hadis, maka merebaklah hadis-hadis palsu di khufah ini.
Oleh karena itu para puqaha sangat hati-hati dalam menerima hadis yang berkembang di khufah ini. Apa bila ada hadis yang tidak sesuai dengan maqasid syar’iyah maka hadis itu di takwilkan atau di tinggalkan. Maka munculah pendapat populer dari madzhab hanafi yang menolak hadis ahad.[4]
          Adapun tokoh-tokoh ulama khufah adalah : Ibnu mas’ud, Abu musa al ash’ari, Sa’ad ibnu abi waqas, Amr bin yasir, Khujaifah bin yaman, Annas bin malik sebagai generasi babon ( sahabat ). Generasi pertama dari murid sahabat ini adalah : Al Qamah bin qais an- Nakha’i, Abu maysaroh al hamdani, Masduq ibn al ajda, Ubaidah al salmani, Syuraikh ibn haris al kindi. Sedangkan generasi kedua adalah : hammad ibn abi sulaiman, mansyur ibn abi mu’tabir al- salami, al muqdim. Kemudian selanjutnya abi laila, Ibnu syubrumah, Syuraikh al qadhi, dan Abu hanifah. [5]

B. KHAWARIJ
Kaum Khawarij menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari kata Yasyriy yang artinya menjual atau mengorbankan diri kepada Allah.
Khawarij awalnya adalah kelompok yang loyal terhadap Ali bin Abi Thalib namun kemudian berbalik arah, mereka kebanyakan berasal dari Orang- orang Badui yang berfikir lurus dann keras, Ali dianggap bekas pengikutnya ini telah salah, karena menghentikan peperangan, sedangkan Muawiyah adalah gubernur pemberontak terhadap pemerintahan yang syah. Dalam pandangan kelompok ini, kedua kubu politik yang disebutkan diatas adalah salah dan sesat. Khawarij juga melahirkan beberapa sekte, diantaranya Muhakkimah, Azzariqoh, Najdah, dan Ajaridah. Adapun pemikiran fiqihnya antara lain :
1. Khalifah tidak harus orang Quraisy, tapi siapa saja yang mampu memimpin. Berbeda dengan Sunni yang mengharuskan pemimpin dari suku Quraisy. Selain itu, orang yang melakukan dosa besar, seperti halnya Utsman, Ali, Abu Musa, Muawiyah, dan Amru bin Ash tergolong kafir. Mereka pun berpendapat bahwa wajib hhukumnya untuk menentang pemerintahan dzalim, termasuk Ali dan Muawiyah.
2. Amalan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya termasuk dalam rukum iman, sehingga iman tidak cukup dengan penetapan didalam hati dan ikrar dilisan saja.
3. Hukuman zinah cukkup dipukul 100 kali sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, sedang rajam adalah ajaran hadits sebgaia tambahan dari Al-Qur’an.
4. Ayat “Banatukum” dalam ayat larangan nikah, cukup diartikan anak perempuan, jadi cucu boleh dinikahi oleh kakeknya.
5. Selain kelompok Khawarij adalah kafir, dan kafir haram dinikahi.
6. Yang disebut Ghanimah adalah senjata, kuda dan perlengkapan lainnya, yang selain itu bukanlah disebut Ghanimah.
7. Ayat “Laa Washiyata Li warisin” tidak berlaku. Sehingga ahli waris boleh mendapatkan warisan.
8. Radho’ah” tidak menghalangi perkawinan sehingga saudara satu susu boleh dinikahi.
9. Thaharah adalah suci lahir dan bathin, konseksuensi logisnya adalah apabila ketika akan shalat atau dalam shalat berpikir sesuatu yang kotor dan membuat bathin kotor maka shalat itu batal.[6]
Pemahaman Khawarij ini berimlpikasi terhadap pemahaman fiqih. Beberapa pendapat mereka yang dapat dikemukakan diantaranya adalah masalah thaharah. Sebagaimana disebutkan oleh Manna Al-Qatthan, kaum Khawarij salah satu kelompok Islam yang paling ekstrim dalam melihat sesuatu, baik itu dalam iman atau kekafiran.
Khawarij hanya mengakui Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber Tasyri’ sehingga mereka tak mengakui adanya sunnah, ijma’ atau yang lainnya. Akibatnya adalah mereka selalu menentang dan tidak sependapat ketika salah satu paham berbeda dengan Al-Qur’an. Hal ini terlihat ketika mereka menilai bagaimana para sahabat atau tabi’in menggunakan sunnah dan ijma’.
C. SYI’AH
Syiah berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya adalah Syiya'un. Syiah adalah kelompok muslim yang setia kepada Ali r.a dan keluarga serta keturunannya. Mereka berpendapat bahwa khalifah itu sebenarnya hak Ali sebagai penerima wasiat langsung dari Rasulullah saw untuk menggantikan kepemimpinan beliau.
Syi’ah adalah segolongan dari umat Islam yang sangat mencintai Ali bin Abi Thalib dan keturunannya secara berlebih-lebihan. Golongan syi’ah berpendapat bahwa yang paling berhak memangku jabatan khalifah adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, sebab dialah yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untuk menjadi khalifah setelah beliau wafat.
Syi’ah ini dalam kaitannya dengan masalah pewaris jabatan khalifah, terbagi-bagi dalam berbagai sekte, ada Syi’ah Kaisaniyah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah Ja’fariyah. Masing-masnig sekte tersebut menjadikan hak jabatan khalifah pada bagian tertentu dari keturunan Ali bin Abi Thalib.
Dalam refrensi lain bahwa Syi’ah dalam perkembangannya mereka mengkultuskan Ali dan keluarganya, sehingga mereka pun percaya bahwa Ali dan keluarganya adalah maksum. Sementara aliran fiqih dalam Syi’ah ada dua, yakni Ushuli dan Akhbari.
Seperti halnya dengan Khawarij, Syi’ah tidak mengakui adanya ijma’ atau qiyas. Qiyas ditolak karena berdasarkan pada akal, bukan nash. Syi’ah hanya mengakui Allah, Rasul-Nya dan Imam sebagai sumber otoritas pembentukan hukum Islam, sehingga pendapat kelompok ini banyak berbeda dengan pendapat Sunni, baik dalam Ushul atau Furu’. Dalam Ushul misalnya, mereka menolak adanya nasakh dan mansukh, sehingga mereka membolehkan adanya nikah mut’ah sampai hari kiamat kelak. [7]
Diantara contoh pemikiran hukum golongan Syi’ah adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an mempunyai dua arti lahir dan bathin, yang mengetahui keduanya hanyalah Allah, Rasul dan Imam. Imam mengetahui makna bahtin Al-Qur’an, karena para Imam tersebut dianggap maksum oleh mereka dan diberikan ilmu yang setaraf dengan kenabian, masyarakat umum hanya mengetahui dzahirnya saja.
2. Membolehkan nikah mut’ah.
3. Orang syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab.
4. Hadits Nabi yang dianggap shahih oleh kelompok ini hanyalah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan jalur-jalur para imam mereka. Hadits yang diriwayatkan oleh kalangan Ahlus Sunnah, meskipun derajat keshahihannya tinggi tidak akan diterima oleh mereka. Demikian pula dalam masalah furu’ dan ushul mereka akan menerima jika disetujui oleh Imam mereka.
5. Dalam kalimat azan “Hayya ‘Alal Falah” dalam pandangan Syi’ah ditambah satu kalimat lagi yaitu “Hayya ‘Ala Khairil Amal”.
6. Masalah warisan bagi perempuan, perempuan hanya mendapatkan benda bergerak saja, tidak seluruh jenis harta.
7. Waktu shalat hanya tiga, dzuhur dan ashar (Dhuluqi syamsi), Magrib dan Isya (Ghosyaqillaili) dan subuh (Qur’anal Fajri).
8. Dalam sujud tidak menggunakan alas tempat sujud yang dibuat tangan. Biasanya mereka menggunakan tanah atau batu dari karbala.
D. SUNNI (AHLUS- SUNNAH WAL JAMA’AH)
Golongan ini adalah orang-orang yang bersikab abstain (apolitis) dan tidak ikut-ikutan terjun kedalam pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan Ali dan para lawan politiknya. Kelompok ini menempuh jalur ilmu yang benar dan manhaj yang lurus serta kajian yang tepat dalam memahami agama Allah, memahami secara teliti terhadap ajaran syari’at berdasarkan penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah yang suci serta riwayat-riwayat dari para sahabat, serta menghindari segala pengaruh fitnah yang terjadi diantara sahabat diakhir khalifah Ali bin Abi Thalib.
Metode yang dipakai golongan ini pada akhirnya melahirkan dua aliran dalam mengistinbat hukum Syari’at:
1. Kelompok yang berpegang pada dzahirnya nash-nash saja dan pengikut aliran ini dinamakan ahli hadits.
2. Kelompok yang mencari ilat-ilat hokum dan hikmahnya dari nash-nash baik Al-Qur’a dan sunnah dan kelompok ini dinamakan ahlul ra’yi.
Golongan ini disebut juga dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan wal Jama'ah ialah penganut i'tiqad Jama'ah sahabat-sahabat Nabi. Jadi, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah ialah kaum yang menganut i'tiqad sebagai i'tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. Ahlussunnah wal Jama'ah adalah golongan umat Islam yang tidak mengikuti pendirian Syiah dan Khawarij. Golongan ini tidak berpendapat bahwa jabatan khalifah itu merupakan wasiat yang diberikan kepada seseorang. Tetapi mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah itu dipilih dari suku Quraisy yang cakap kalau ada. Golongan ini tidak mengutamakan khalifah-khalifah dengan yang lain dari kalangan sahabat. Mereka menta'wilkan persengketaan yang terjadi dikalangan sahabat dengan soal ijtihad dalam politik pemerintahan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah iman dan kafir. Termasuk prinsip yang diyakini oleh golongan ini adalah bahwa Diin dan Iman merupakan ucapan dan perbuatan, ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Dan sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Diantara pemikiran hukum Islam Ahlussunnah wal jama'ah adalah :
1. Penolakan terhadap keabsahan nikah mut'ah. Bagi Jumhur, nikah mut'ah haram dilakukan
2. Jumhur menggunakan konsep aul dalam pembagian harta pusaka
3. Nabi Muhammad saw tidak dapat mewariskan harta
4. Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah 4 orang (penafsiran terhadap surat An Nisa ayat 3 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
5. Persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun mereka bermaksiat
6. Orang-orang fasik tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan mereka tidak kekal dalam neraka, dan masih tergolong beriman atau bisa juga dikatakan beriman tidak secara mutlak
7. Para sahabat itu dimaafkan Allah, baik mereka yang melakukan ijtihad dengan hasil yang benar maupun yang salah. Akan tetapi mereka tidak meyakini bahwa para sahabat itu ma'sum dari dosa-dosa besar dan kecil

DAFTAR PUSTAKA

Dr..sopyan yayan. M.ag Tarikh tasyri (Sejarah Pembentukan Hukum Islam), (Depok: Gramata Publishing, 2010)

Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyi (Sejarah Legsilasi Hukum Islam), (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009).


[1] Sebetulnya diskursus ahli hadis-ahli ra’yu tidak melulu berdasarkan kota
[2] Untuk perkembangan kedua madzahab ini lihat, N.J Coulson . A history OF Islamic Law. Penerjemah muhammad siraj.
[3] Muhammad ali al- Sayyis, tarikh al piqh al-islami hlm.73
[4] Manna Al-Qathan tarikh tasyri al-islami h, 290
[5] Manna Al-Qathan tarikh tasyri al-islami h, 262
[6] Manna Al-Qathan tarikh tasyri al-islami h, 263 - 266

MAKALAH MBS PENDEKATAN MBS


MAKALAH MBS
PENDEKATAN MBS
Di susun oleh:
Ardi
Hapipah
Neri valina
Yuliyanti





Universitas islam syekh yusuf tangerang
Fakultas agama islam
2012
PENDEKATAN MBS
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidak puasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manfaat MBS
MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.
Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut:
. Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Syarat Penerapan MBS
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup "seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya."
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.
Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.
. MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
. MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.
. Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
. Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
. Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.

Hambatan Dalam Penerapan MBS

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.

Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit "pikiran kelompok." Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Daftar pustaka
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grafindo